Langsung ke konten utama

KETHEK OGLENG



Wonogiri merupakan salah kabupaten yang ada di Jawa tengah. Kabupaten ini mempunyai pesawahan yang sangat luas dan tercatat memiliki penduduk sebanyak kurang lebih 1.252.000,- jiwa. Secara sejarah kota ini merupakan basis perjuangan Raden Mas Said atau Pangeran Mangkunegara I dan wangsa Mataram ketika perang melawan para kompeni pada pertengahan abad ke-18.
Wilayah Wonogiri yang tandus dan berbukit, secara kultural melahirkan beragam corak budaya yang bervariasi. Meskipun Wonogiri terletak di daerah Jawa, namun Wonogiri tetap menunjukkan ciri khas dan keragamannya sendiri lho! contohnya adalah kesenian Kethek Ogleng.
Kethek Ogleng merupakan salah satu seni tari yang ada di Wonogiri. Kalian  yang mempunyai latar belakang Jawa mayoritas pasti tahu arti dari Kethek itu sendiri. Ya, dalam bahasa Jawa, Kethek berarti seekor kera sedangkan Ogleng sendiri berarti suara sarun demung (sarun besar) yang sebagian orang menyebutnya gleng.

Tarian ini merupakan sebuah tarian yang mana pemainnya harus menirukan gerakan-gerakan seekor kera atau kethek. Ketika si penari melakukan aksinya, ia akan diiringi oleh iringan Gending Gangsaran Pancer salah satu vokabuler gending Jawa yang dari kejauhan terdengar seperti bunyi, ogleng... ogleng... ogleng...
Dan hal tersebut merupakan salah satu alasan mengapa tarian ini dinamakan Kethek Ogleng! Memang tari dan musik adalah satu kesatuan dalam tarian. Begitu pula Kethek ogleng, kesenian ini terlihat menarik jika penari melakukan gerakan yang selaras dengan musik yang dimainkan.
Kethek oglengpun memiliki keunikannya sendiri. Keunikan yang ada dalam kesenian ini adalah tidak adanya gerakan gerakan khusus yang dibakukan untuk pembelajaran tari. Ketika Si Penari yang memerankan Kethek ini beraksi, ia cukup melakukan gerakan-gerakan yang selayaknya dilakukan oleh seekor kera. Tarian ini tidaklah kaku namun sangat atraktif dan akrobatik. Di samping itu, dalam sebuah sesi, si Kethek akan melakukan interaksi dengan para penonton dengan cara mengajaknya menari, bercanda, dll.
Tahun berdirinya kesenian Kethek Ogleng tidak diketahui secara pasti. Namun, ketika masyarakat Wonogiri mendengar Kethek Ogleng maka mereka pasti teringat kepada seseorang yang sangat berpengaruh terhadap kesenian unik ini. Siapakah dia?
Sosok tersebut merupakan almarhum Mbah Samijo. Mbah Samijo seorang warga desa Tempusari kecamatan Sidoharjo yang merupakan penari Kethek pertama yang ada di Wonogiri. seperti yang dituturkan oleh Sukijo, murid beliau serta penerus kesenian ini sampai sekarang.
Tahun berdiri kesenian ini memang tidak diketahui secara pasti. Namun, dimungkinkan kesenian ini adalah hasil rembesan dari Jawa Timur. Hal ini dapat dilihat dari geografis Wonogiri yang berbatasan dengan Jawa Timur serta kisah yang disajikan dalam Kethek Ogleng yakni cerita Panji
Dalam pementasan Kethek Ogleng, para pemain mengisahkan tentang kisah cinta Dewi Sekartaji dan Panji Asmoro Bangun. Pada suatu hari, Dewi Sekartaji mendengar bahwa ayahnya akan menjodohkannya dengan seorang pangeran dari kerajaan lain. Mendengar hal tersebut Dewi Sekartaji memutuskan untuk melarikan diri dari kerajaan. Lalu, seketika itu juga Panji Asmoro Bangun pergi mengembara untuk mencari calon istrinya tersebut dengan menyamar sebagai Kethek agar tidak diketahui oleh ayah Dewi Sekartaji.   
Demi kelestarian budaya nusantara, para ahli yang berkecimpung di kesenian Kethek Ogleng ini mulai mengenalkan dan mengajarkan Kethek Ogleng di sekolah-sekolah juga sanggar. Kethek Ogleng yang diajarkan pada mereka merupakan Kethek Ogleng yang modern yaitu Kethek Ogleng yang tidak mengandung unsur magic. Untuk Kethek Ogleng tradisional hanya diajarkan dengan cara khusus dan orang tertentu. Karena cara tradisional membutuhkan pelatihan dan ritual khusus demi penguatan karakter pada penyajian Kethek Ogleng sendiri.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sampyong Betawi

      DKI Djakarta. Kota yang terkenal dengan kemacetannya ini ternyata kaya akan seni budaya juga lhoo... seperti salah satunya yang akan kita bahas yaitu Sampyong! Sampyong, merupakan sebuah alat musik yang berasal dari Jakarta dan sudah ada diperkirakan pada masa sebelum Islam. Mengapa demikian? Karena musik ini digunakan untuk meramaikan upacara baritan atau sedekah bumi. Seperti kita ketahui, upacara sedekah bumi itu bertujuan menyampaikan persembahan kepada Dewi Kesuburan yaitu Dewi Sri.   Nah penasaran, kaaan... bagaimana sih cara menggunakan Sampyong ini? dan apakah pada zaman yang sudah serba modern ini alat musik klasik seperti itu masih terlihat eksistensinya?   Jakarta pada kisaran tahun 1970 masih merupakan salah satu kota agraris. Pada masa itu, kota yang sekarang dipenuhi oleh gedung-gedung pencakar langit ini masih dipenuhi sawah-sawah yang menghampar luas. Naaah, Di sinilah uniknya,  ternyata, sawah-sawah yang mengahampar tersebut berkaita...

Harapan bagi para “Survivor” Pejuang Kanker melalui I am Hope

I am Hope, film yang akan rilis pada 18 Februari 2016 ini merupakan film inspirasi yang menggambarkan bahwa masih ada harapan bagi para pejuang kanker. Harapan tersebut, selain dituangkan dalam layar lebar, para pemain dan kru seperti Tatjana, Ariyo Wahab, Wulan Guritno, tepat pada tanggal 19 Januari 2016 menebarkan langsung banyak harapan pada para “Survivor” di Rumah Sakit Dharmais Jakarta dalam bentuk support dan bantuan berupa makanan sehat, vitamin, peralatan bermain dan peralatan sekolah.    Berkunjung langsung ke rumah sakit kanker tentu ada sensasi dan kesan tersendiri. Ketika kita melihat adik-adik dan saudara kita yang sedang berjuang di bangsal-bangsal, siapapun pasti akan terenyuh hatinya. Namun, di luar perkiraan kita, keceriaan dan senyuman tulus tergurat di wajah walaupun pada kenyataannya sakit tiada tara yang harus mereka derita. Melalui aksi solidaritas “Bracelet of Hope” pula-lah, Wulan Guritno dan kru ingin selalu membangkitkan harapan dalam di...