Langsung ke konten utama

Sampyong Betawi

      DKI Djakarta. Kota yang terkenal dengan kemacetannya ini ternyata kaya akan seni budaya juga lhoo... seperti salah satunya yang akan kita bahas yaitu Sampyong! Sampyong, merupakan sebuah alat musik yang berasal dari Jakarta dan sudah ada diperkirakan pada masa sebelum Islam. Mengapa demikian? Karena musik ini digunakan untuk meramaikan upacara baritan atau sedekah bumi. Seperti kita ketahui, upacara sedekah bumi itu bertujuan menyampaikan persembahan kepada Dewi Kesuburan yaitu Dewi Sri.   Nah penasaran, kaaan... bagaimana sih cara menggunakan Sampyong ini? dan apakah pada zaman yang sudah serba modern ini alat musik klasik seperti itu masih terlihat eksistensinya?   Jakarta pada kisaran tahun 1970 masih merupakan salah satu kota agraris. Pada masa itu, kota yang sekarang dipenuhi oleh gedung-gedung pencakar langit ini masih dipenuhi sawah-sawah yang menghampar luas. Naaah, Di sinilah uniknya,  ternyata, sawah-sawah yang mengahampar tersebut berkaitan erat lhoo dengan eksistensi alat musik Sampyong! Dimana ada sawah, tentu kita akan menemukan yang namanya musim panen!           

       Masyarakat Betawi yang ada di Ibu kota pada masa itu ternyata mempunyai keunikan sendiri dalam menyambut waktu panen mereka. Ketika waktu panen datang, warga pribumi akan mengadakan sebuah ritual yang bernama upacara baritan atau sedekah bumi. Ritual tersebut dilaksanakan dalam rangka mengungkapkan rasa syukur atas hasil panen yang telah mereka tuai. Dalam acara sedekah bumi ini, masyarakat memainkan permainan Ujungan dan tari Uncul sebagai media pelengkap. Nah, disinilah alat musik Sampyong melakukan perannya! Sampyong merupakan sebuah alat musik yang mengiringi permainan Ujungan dan Tari Uncul. Sampyong merupakan musik rakyat Betawi pinggiran yang paling sederhana dibanding musik Betawi lainnya. Kesederhanaannya bisa terlihat dari bahan baku yang digunakan untuk membuat alat musik tersebut yaitu bambu. Saat ini, alat musik Sampyong sangat dikhawatirkan punah. Mengapa? Karena dilihat dari bahan baku yang digunakan untuk membuat Sampyong tersebut pun sudah jarang ditemui. Karena, proses pewarisan keahlian pembuatan alat musik tersebut tidak dapat berjalan sebagaimana mestinya. Proses pewarisan tidak berjalan lancarlah yang  menjadi salah satu kendala dalam pelestarian Sampyong, semoga saja seniman dan budayawan segera menemukan solusi agar Sampyong ini tetap hidup dan dikenal banyak kalangan nusantara maupun dunia!   
       
       Mengulas sedikit mengenai kesenian yang diiringi oleh Sampyong, Tari Uncul merupakan sebuah tarian yang menyajikan gerakan-gerakan silat. Uncul diangkat dari nama gerak silat Betawi. Aliran yang digunakan dalam silat ini adalah aliran silat Jalan Enam yang geraknya diilhami gerak-gerik monyet. Setelah mengiri Tari Uncul, selanjutnya musik Sampyong mengiringi permainan Ujungan. Permainan ini dimainkan oleh dua orang laki-laki dan wasit yang disebut bobotoh. Karena permainan Ujungan bisa disebut sebagai satu pertarungan, maka Ujungan selalu pertunjukan di area terbuka. Tapi... jangan khawatir, walaupun permainan ini merupakan sebuah pertarungan, para pemain tetap menjunjung tinggi nilai sportivitas kok! Fungsi utama bobotoh selain wasit, berperan juga sebagai dukun. Permaian Ujungan adalah bentuk permainan berpola tari yang menggunakan alat pemukul berupa rotan sepanjang kurang lebih 60 cm. Dalam permainan itu keduanya saling memukul kaki mulai pinggang ke bawah. Keduanya saling pukul sampai mengeluarkan darah. Konon, semakin banyak darah yang tercecer di atas tanah, semakin suburlah tanah pertanian di kemudian hari. Kesuburan itulah yang membawa keberkahan melimpahnya hasil panen. Permainan itu dilakukan untuk mencari pemain terbaik dan terkuat sebagai simbol kesiapan petani menggarap lahan peertaniannya. Sebelum permaian dimulai, tentu saja disepakati atau dilakukan sebuah perjanjian untuk tidak saling memendam dendam. Waaah, menarik sekali ya! Berbeda dengan jenis kesenian lain yang biasanya disajikan sebagai hiburan, ternyata permainan Ujungan dan Tari Uncul ini khusus digunakan untuk pelengkap ritual Baritan atau sedekah bumi aja lho! Karena Tari Uncul merupakan kesenian yang dilahirkan oleh kaum petani di masa lalu. Jadi Sahabat Edukasi, Tari Uncul dan permainan Ujungan tidak disajikan dalam acara seperti hajatan, atau hari-hari besar lainnya.    Begitulah sedikit ulasan mengenai Tari Uncul dan permainan Ujungan. Sekarang kita berkenalan lebih dalam yuk dengan alat musik Sampyong... 

      Sampyong merupakan sebuah orkes dan termasuk salah satu seni musik Betawi yang paling tua. Ia berbentuk bilah kayu dan terbuat dari kayu kembang. Kulit kayunya tidak dibuang dan seluruh bambu dipotong dengan ukuran yang berbeda. Potongan kayu dengan ukuran berbeda tersebut kemudian diletakkan di atas dua batang bambu yang melintang. Alat musik Sampyong relatif tidak dapat tahan lama karena alat musik ini terbuat dari bambu.
        Sampyong ini merupakan alat musik yang tidak mempunyai laras lhooo... alat musik ini hanya mempunyai lima nada yang tidak tentu.  Sampyong relatif tidak dapat bertahan lama, karena seperti yang kita ulas di atas, alat musik ini terbuat dari bambu. Maka dari itu, Sampyong sering dibuat mendadak atau dibuat sebelum diadakan pentas. Musik Sampyong tidak bisa bermain sendiri, dalam kata lain, Sampyong hanya merupakan musik pelengkap saja.
           Seperti halnya dalam mengiringi Tari Uncul dan permaian Ujungan, Sampyong ini disajikan bersama dengan dua instrumen lain yaitu celempung dan kotekan.  Kesenian ini dimainkan dengan durasi yang tidak ditentukan. Berubahnya Jakarta menjadi kota metropolitan tentu saja sangat mempengaruhi eksistensi kesenian rakyat yang ada.  Salah satunya Sampyong! Dalam bentuk penyajiannya misalnya, Sampyong yang digunakan sebagai iringan Tari Uncul dan permaian Ujungan, tentu saja alat musik ini mendekati kepunahan. Tari Uncul yang hanya disajikan dalam acara pesta panen itu sudah sangat jarang sekali dipentaskan. Karena, seperti yang Sahabat Edukasi tahu, Jakarta saat ini sudah berubah menjadi lahan berpohon beton,  besi, dan baja menjulang, memberangus lahan pertanian. Sedih memang, jika kesenian yang merupakan kekayaan kebudayaan Indonesia harus mengalami kepunahan.
        Namun, Sampyong sebagai instrumen pengiring bisa juga lhoo dikembangkan mengiringi kesenian-kesenian lain! Salah satu alternatif untuk mencegah punahnya alat musik ini adalah dengan membuat alat musik Sampyong dijadikan sebagai souvenir atau karya-karya handycraft. Waaah pasti lucu yaa! Sebagai contoh adalah angklung-angklung mini yang terdapat di tempat-tempat souvenir. Dalam hal pelestarian, Sampyong belum ada regenerasi. Untuk saat ini belum ada yang mempelajari Sampyong secara khusus. Namun, ternyata ada salah satu sekolah di Jakarta,  yaitu Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) 57, Pasar Minggu, Jakarta Selatan, yang mempunyai alat musik ini dan dipelajari oleh siswanya. Semoga, dengan adanya perkenalan tersebut kepada generasi muda dapat membantu melestarikan kesenian yang hampir punah ini. 

       Disajikannya pertunjukkan kesenian yang ada di berbagai daerah tentunya selain sebagai hiburan kesenian itu juga pasti memiliki sisi hikmah dan edukasi yang dapat dipetik oleh para penikmatnya. Tak terkecuali Sampyong yang berkolaborasi dengan Tari Uncul dan permainan Ujungan ini.   Sebagaimana kita yang menjalani kehidupan bermasyarakat, kesenian ini juga mengandung nilai saling menghargai orang lain. Dalam pertunjukkan ini, walau ia seorang Jawara sekalipun harus tetap menyatu dan membaur dengan yang lainnya. Ketika dalam satu pertarungan salah satu dari mereka ada yang kalah maka dalam perjanjian sebelumnya tidak diperbolehkan adanya rasa dendam. Dalam kata lain, kesenian ini sangat menjunjung tinggi nilai sportivitas yang juga harus diterapkan dalam kehidupan kita sehari-hari. Hal lain yang dapat kita petik dari kesenian ini adalah nilai silaturahmi.
       Kesenian yang disajikan pada waktu panen ini, para petani tentunya akan mengundang saudara, kerabat, handai tulannya untuk menghadiri upacara Baritan atau sedekah bumi. Hal itu jelas akan mempererat tali persaudaraan. Karena, walaupun hal tersebut merupakan kebudayaan yang dilakukan masyarakat Betawi yang tinggal di Jakarta, namun para petani akan mengundang saudara-saudaranya yang ada di daerah lain juga. Nabi SAW bersabda, “Tidak akan masuk surga barang siapa yang memutuskan tali persaudaraannya.” Nah, bisa dapat kita ambil kesimpulan, jika kita semua sadar akan hikmah di balik kesenian ini, secara tidak langsung kesenian ini telah mengajak kita kepada kebaikan atau surga.
       Waaaah... sesuatu sekali yaaa... Sedekah bumi yang dilakukan para petanipun merupakan bentuk rasa syukur mereka atas rizki panen yang telah mereka tuai. Selain mengajarkan sportifitas, ternyata kesnian ini mengajarkan kita nilai silaturahi dan cara bersyukur lhooo...!! Banyaknya hikmah yang dapat kita petik dari kesenian yang hampir punah eksistensinya ini. Maka dari itu, sangat disayangkan jika kesenian ini tidak dikembangkan apalagi tidak mendapatkan dukungan. Terlebih, masyarakat pada umumnya jarang sekali yang mengenal alat musik Sampyong, mereka hanya mengenal tari Unculnya saja.
       Kesenian ini bagaikan hidup segan matipun tak mau, karena dukungan yang didapat sangatlah minim. Faktor tersebut salah satunya dikarenakan bahwa masyarakat saat ini banyak yang hanya memburu hiburan. Jarang sekali yang peduli akan unsur kebudayaan. Saat ini masih ada seniman yang masih berjuang untuk melestarikan Sampyong dan akan dilakukan sistem kaderisasi agar tidak punah. Karena di Jakarta sendiripun hanya tersisa tidak lebih dari jari satu tangan seniman Sampyong yang masih bertahan. Seniman tersebut juga sedang berjuang untuk membuat kreativitas lain dari Sampyong itu sendiri dan akan dikembangkan dalam hal lain agar tetap eksis. Salah satu solusi adalah agar Sampyong ini dibuat sebagai salah satu produk handy craft atau buah tangan agar minimal semua orang tahu akan keberadaan Sampyong.
      Semoga perjuangan para seniman tersebut membuahkan hasil yang lebih baik dan tentunya dilirik oleh pemerintah yang berkutat di bidangnya, juga diketahui masyarakat pada umunya. Walau bagaimanapun, semua kebudayaan yang termasuk kekayaan Indonesia tercinta ini patut kita lestarikan bersama. Demikianlah ulasan mengenai kesenian Sampyong, semoga bermanfaat!


Komentar

Postingan populer dari blog ini

KETHEK OGLENG

Wonogiri merupakan salah kabupaten yang ada di Jawa tengah. Kabupaten ini mempunyai pesawahan yang sangat luas dan tercatat memiliki penduduk sebanyak kurang lebih 1.252.000,- jiwa. Secara sejarah kota ini merupakan basis perjuangan Raden Mas Said atau Pangeran Mangkunegara I dan wangsa Mataram ketika perang melawan para kompeni pada pertengahan abad ke-18. Wilayah Wonogiri yang tandus dan berbukit, secara kultural melahirkan beragam corak budaya yang bervariasi. Meskipun Wonogiri terletak di daerah Jawa, namun Wonogiri tetap menunjukkan ciri khas dan keragamannya sendiri lho! contohnya adalah kesenian Kethek Ogleng. Kethek Ogleng merupakan salah satu seni tari yang ada di Wonogiri. Kalian   yang mempunyai latar belakang Jawa mayoritas pasti tahu arti dari Kethek itu sendiri. Ya, dalam bahasa Jawa, Kethek berarti seekor kera sedangkan Ogleng sendiri berarti suara sarun demung ( sarun besar) yang sebagian orang menyebutnya gleng . Tarian ini merupakan sebuah...

Harapan bagi para “Survivor” Pejuang Kanker melalui I am Hope

I am Hope, film yang akan rilis pada 18 Februari 2016 ini merupakan film inspirasi yang menggambarkan bahwa masih ada harapan bagi para pejuang kanker. Harapan tersebut, selain dituangkan dalam layar lebar, para pemain dan kru seperti Tatjana, Ariyo Wahab, Wulan Guritno, tepat pada tanggal 19 Januari 2016 menebarkan langsung banyak harapan pada para “Survivor” di Rumah Sakit Dharmais Jakarta dalam bentuk support dan bantuan berupa makanan sehat, vitamin, peralatan bermain dan peralatan sekolah.    Berkunjung langsung ke rumah sakit kanker tentu ada sensasi dan kesan tersendiri. Ketika kita melihat adik-adik dan saudara kita yang sedang berjuang di bangsal-bangsal, siapapun pasti akan terenyuh hatinya. Namun, di luar perkiraan kita, keceriaan dan senyuman tulus tergurat di wajah walaupun pada kenyataannya sakit tiada tara yang harus mereka derita. Melalui aksi solidaritas “Bracelet of Hope” pula-lah, Wulan Guritno dan kru ingin selalu membangkitkan harapan dalam di...